Our site is moved here
Blog Mbah Dinan

Jumat, 25 Juli 2014

Simbol dalam Musik Dayak

Manusia mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan dan dapat dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai luhur sebagai hasil dari kehidupan manusia. Begitu eratnya hubungan manusia dengan simbol-simbol, ia dapat dikatakan sebagai makhluk yang bersimbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis inilah yang menggambarkan kehidupan, tingkah laku, perjalanan hidup, dan nilai-nilai budaya yang dimiliki suatu masyarakat.

Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung. Mereka selalu mendekati alam (dan isinya) melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol, makna dan nilai (Lahajir, 2001: 41). Selanjutnya Ernst Cassirer mengatakan bahwa:
“Manusia dapat disebut sebagai hewan yang bersimbol (Animal Simbolicum). Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai simbol” (Budiono Herusatoto, 1991: 9).    
Masyarakat Dayak mengenal alam nyata dan berhubungan dengan alam gaib melalui simbol-simbol. Simbol tersebut merupakan ide-ide yang melambangkan maksud tertentu (Fx. Widaryanto, terj., 1988: 128). Dalam kehidupan masyarakat Dayak, simbol-simbol yang dikomunikasikan merupakan konsep hubungan relegius antara manusi dengan Tuhan, manusia dengan alam gaib, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam nyata (lingkungannya) yang kemudian ditranspormasikan ke dalam musik yang mereka miliki, sehingga dapat dipastikan musik Dayak mengandung simbol-simbol sebagai pengejawantahan persepsi masyarakat tentang kehidupannya.

Musik dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa simbolik. Musik merupakan sebuah bentuk yang bermakna (significant form). Makna tersebut adalah sesuatu yang diungkapkan melalui simbol. Musik merupakan objek rasa dengan melalui kecemerlangan struktur dinamikanya dapat mengungkapkan bentuk-bentuk pengalaman penting yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa (Triyono Bramantyo, terj., 2005: 3). Dengan demikian tidak dapat diragukan lagi, bahwa musik bersifat simbolik (Ibid.: 3). Melalui musik pula masyarakat Dayak memberikan pemaknaan tentang kebudayaannya yang terangkum dalam ide musikal mengenai alam pikiran, alam budi, tata susila, termasuk pula karya manusia.

Kebanyakan nilai kehidupan masyarakat Dayak dilambangkan dalam bentuk simbol, sehingga apa yang diungkapkan melalui simbol dapat ditangkap oleh manusia lainnya, kemudian dipelajari, dihayati maknanya, dan diterapkan dalam kehidupan. Contohnya seperti simbol-simbol pada pantak, tari, upacara, dan musik Dayak. Pantak dianggap sebagai lambang penghormatan kepada nenek moyong yang telah berjasa dalam kehidupan. Musik dianggap sebagai bahasa komunikasi simbol, sedangkan upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan dunia gaib dan hubungan manusia dengan Jubata. Oleh karena itu musik dapat dianggap sebagai refleksi kehidupan sosial yang dijalani masyarakatnya. Ia juga dianggap sebagai transpormasi nilai-nilai kehidupan yang tersimpul dalam adat dan tradisi, lambang penghormatan kepada pada leluhur, dan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Simbol-simbol dalam masyarakat Dayak secara menyeluruh dapat dilihat dalam setiap upacara ritual. Simbol itu dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama, Simbol Material, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium benda yang sifatnya yang dapat dilihat dan diraba, seperti alat musik dan manusianya yang memainkan alat musik tersebut. Kedua, Simbol nonmaterial, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium yang tidak dapat dilihat dan diraba, seperti musik Dayak itu sendiri.

Antara alat musik dan musik Dayak merupakan sesuatu kesatuan. Kedua medium ini tidak dapat dipisahkan, karena simbol material merupakan alat penunjang yang melambangkan kehidupan manusia Dayak, sedangkan simbol nonmaterial mengandung makna komunikasi terhadap roh halus, roh para leluhur, dan Jubata. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Noerid Haloei Radam yang mengatakan bahwa:
“Upacara dan perlengkapan atau peralatan adalah dua unsur religi yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya amat berkaitan erat dalam pengertian yang satu memerlukan yang lain. Dalam religi masyarakat bersahaja, suatu upacara tidak atau belum boleh dilaksanakan bila peralatan yang harus menyertainya tidak atau belum lengkap” (Noerid Haloei Radam, 2001: 30). 
Begitu juga dengan alat musik dan musik itu sendiri. Tentunya musik tidak dapat berbunyi bila alatnya tidak ada, dan tidak dapat berbunyi pula bila manusia yang memiankannya tidak ada. Hal ini  dapat dijelaskan dari pemahaman dualisme dan pluralisme yang merupakan keutuhan, kebulatan, dan totalitas tunggal (Jakob Sumardjo, 2002: 10). Musik Dayak mempunyai kebulatan makna menyeluruh dari adat istiadat dan hubungan religius dalam kehidupan yang dijalani masyarakatnya. Keterkaitan kedua simbol material dan non material ini tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan kebulatan yang saling melengkapi dan memberikan arti antara satu dengan lainnya.



Mengamati beberapa penjelasan mengenai simbol di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa musik Dayak adalah musik dengan bahasa simbolik. Adapun beberapa simbol yang terdapat dalam musik Dayak adalah sebagai berikut.
1. Simbol Penyucian 
Pembersihan diri biasanya dilakukan sebelum upacara maupun saat upacara berjalan. Penyucian ini biasanya bisa terlihat pada penyucian badan kasar dan badan halus manusia, sesaji, tempat upacara, dan perlengkapan upacara. Kelima media yang disucikan itu dianggap sebagai wilayah sakral pada alam manusia dan merupakan gerbang untuk berhubungan dengan dunia gaib. Penyucian ini pada upacara ritual Baliatn Dayak Kanayatn ada yang diantar dengan musik Bagu. Musik ini menggambarkan penyucian manusia dengan air yang mengalir di sungai Bagu sebelum pamaliatn melakukan perjalanan religius ke gunung Bawakng. Hal ini berhubungan dengan pandangan masyarakat Dayak yang menyatakan bahwa sesuatu yang bukan dunia manusia belum merupakan sebuah dunia. Sesuatu wilayah dapat dijadikan milik manusia hanya dengan membuatnya baru kembali, yaitu dengan mentahbiskan atau mensucikannya (Nuwanto, terj., 2002: 26). Melalui musik Bagu sebagai lambang kesucian, mereka mentahbiskan wilayah sakral tersebut.

2. Simbol Perjalanan Religius
Perjalanan religius yang dimaksud adalah perjalanan menuju roh nenek moyang, roh gaib, dan Jubata. Contohnya dapat dilihat pada musik Bawakng Dayak Kanayatn yang merupakan penggambaran suatu tempat asal mula nenek moyang suku Dayak Bukit (Kanayatn). Tempat ini dianggap keramat, karena dipercaya sebagai tempat Ne’ Baruakng Kulub turun ke bumi dan menurunkan padi kepada manusia. Selanjutnya beliau mengajarkan Adat Nang Lima (adat lima) kepada keturunannya. Simbol ini terdapat dalam musik Bawakng dan bila musik tersebut mau ditabuh Pamaliatn mengucap Ka’ Bawakng yang artinya menuju gunung Bawakng (Dukun pergi ke gunung Bawakng untuk berkomunikasi dengan roh leluhur, roh halus, dan Jubata).

3. Simbol Hubungan Religius (Komunikasi)
Religi dalam masyarakat Dayak mencakup pula tentang simbol-simbol yang menyatakan hubungan mereka dengan Tuhan. Simbol-simbol itu berfungsi sebagai rujukan untuk menjelaskan dan menata hubungan dengan dunia gaib yang sangat abstrak untuk dimengerti, tentang ilah-ilah atau segala sesuatu yang dipandang tidak dapat dilukiskan. Oleh karena itu mereka mengungkapkannya melalui benda-benda upacara, seperti sesaji, perlengkapan upacara, dan musik yang dianggap sakral dan dapat menghubungkan para pemakainya dengan kekuatan gaib yang samar tersebut. Hal ini karena religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sasaran tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan dan penguasaan diri. Bila tujuan (yakni objek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu digunakan (Noerid Haloei Radam, op.cit.,: 3).

4. Simbol Keagungan
Masyarakat Dayak menganggap Jubata mempunyai sifat Agung. Ia harus dipanggil atau didatangkan dengan menggunakan musik yang indah untuk memujiNYA. Melalui beberapa musik tersebut, Tuhan diagungkan dengan pemberian sesaji. Melalui musik itu pula Jubata sebagai penguasa tertinggi dijunjung dangan segala kemegahan upacara untuk memohon segala restu dan berkah dalam kehidupan. Cohtoh penggunaan musik ini adalah musik Jubata Dayak Kanayatn, dimana musik dianggap sebagai penggambaran penghormatan kepada Jubata.

5. Simbol Perjalanan ke Alam Gaib
Simbol ini mengandung makna perjalanan badan halus Pemaliatn (dukun Baliatn) ke alam gaib untuk mengadakan hubungan dengan makhluk halus yang mengganggu manusia dan mengembara mencari semangat orang yang diobati. Pengembaraan pencarian semangat ini dinamakan Ngaranto’. Di sini tergambar adanya dua dunia sebagai wujud kesatuan, yaitu hadirnya dunia gaib pada dunia manusia. Kehadiran itu melalui suatu jembatan yang dilambangkan dengan musik Ngaranto.

Daya-daya magi yang terkandung dalam tari dan syair-syair lagu merupakan perwujudan ruang dan waktu yang bersifat magis. Di situ digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai kesatuan lingkaran, dimana dalam ritual yang dianggap sakral, pemimpin upacara dipercaya dapat menyatu dengan kekuatan magis tersebut. Pada tahapan ini totalitas dunia atas dan dunia manusia senantiasa diperlukan. Dunia atas adalah substansi tak berwujud, abstrak dan tidak terindera, namun terasa kehadirannya. Epistemologi dunia atas bukan empirik dan rasional, tetapi mistik dan berhubungan dengan batin. Ia ada di dunia manusia tetapi tidak dikenal secara empirik keseharian dan di luar nalar akal manusia. Oleh karena itu, pertanda kehadiran dunia atas di dunia manusia harus dikenal lewat simbol-simbol. Seperti halnya dalam musik Dayak, dimana Dunia Atas dilambangkan dengan Agukng (gong). Dunia Tengah atau dunia manusia dilambangkan dengan Dau. Perpaduan keduanya dilambangkan dengan “bunyi” sebagai simbol hubungan transenden dua dunia tersebut.

6. Simbol Penghormatan
Simbol penghormatan terdapat dalam musik Dayak yang biasanya ditabuh ketika pemanggilan roh leluhur, roh gaib, atau Jubata. Penggunaan musik ini dapat pula dianggap sebagai simbol penghormatan penghuni alam gaib ketika dipanggil, dan kehadirannya diagungkan melalui musik sebagai lambang penghormatan. Contoh lainnya dapat dilihat pada pergaulan di luar masyarakat Dayak. Mereka menganggap setiap orang harus dihormati, sampai kepada tradisi penyambutan tamu, dimana setiap orang datang disambut dengan tarian dan musik. Hal ini membuktikan bahwa musik juga mengandung simbol penghormatan kepada manusia dan Tuhan.

8. Simbol Persatuan
Musik dapat dijadikan lambang persatuan masyarakat. Melalui musik orang dapat mengenali tradisinya, karena ia mempunyai ciri-ciri sesuai dengan budaya yang melingkupinya. Begitu pula musik Dayak, ia merupakan perwujudan budaya dan mengandung ciri budaya masyarakat pemiliknya. Musik mengajarkan kepada mereka tentang nenek moyang yang sama dan menganjurkan mereka bersatu dalam ikatan kekeluargaan. Sebagai contoh ketika musik Dayak dimainkan, masyarakat akan merasa dalam suatu ikatan kekeluargaan.
Simbol persatuan itu sama halnya dengan bendera. Ia hanya kain berwarna merah dan putih, namun ia mengandung simbol persatuan rakyat Indonesia. Seandainya kain merah dan putih itu belum dirangkai menjadi satu, maka kain itu bukan sebagai simbol persatuan, melainkan hanya kain biasa. Ketika dirangkai dan ditampilkan dalam bentuk bendera negara, barulah ia diakui sebagai lambang persatuan. Begitu pula dengan instrumen, hanya merupakan benda budaya biasa. Ketika instrumen itu dimainkan menjadi sebuah musik, barulah ia menjadi sebuah musik yang mengandung simbol dan diakui sebagai milik bersama. Hal demikian membuktikan bahwa musik tersebut merupakan sebuah simbol dan setelah ia diakui sebagai milik bersama, secara otomatis ia menjadi sebuah lambang persatuan masyarakat pemilik kesenian tersebut.
Itulah beberapa simbol yang dikandung dalam musik Dayak yang sesungguhnya mempunyai keluasan nilai estetik dan nilai budaya luhur yang seharusnya dijaga dan diterapkan dalam kehidupan. Runtuhnya sebuah musik berarti juga runtuhnya sebuah budaya. Bila manusia Dayak tidak berbudaya, maka ia kehilangan identitasnya. Ingat, jangan sampai sesat diladang sendiri karena kemajuan. Namun kemajuan justru harus dapat seimbang dengan keselarasan budaya dan perkembangan manusia Dayak seutuhnya.

2 komentar:

  1. muantab mbah. semoga dengan adanya blog ini perkembangan musik kalimantan akan lebih baik. amin

    BalasHapus
  2. kami share ke kawan-kawan perupa kalbar dan lainnya untuk gabung di portal ini. selamat atas berdirinya portal musik etnis kalimantan

    BalasHapus